KDRT: bukanlah masalah pribadi, Dengan Teknologi Juga Bisa membantu menciptakan ruang yang aman bagi para korban

@Merdeka.com

KDRT: bukanlah masalah pribadi

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dirasakan dan dialami oleh selebritis LK oleh suaminya sendiri, RB, sudah memantik kesadaran khalayak akan keutamaan menantang KDRT sebagai salah satunya wujud kekerasan berbasiskan gender.

Banyak wanita lain di segala penjuru Indonesia alami KDRT - namun pengalaman mereka sering tidak tersorot camera media.

Pada 2020 saja, Komnas Wanita memberikan laporan ada 2.389 aduan kasus kekerasan pada wanita. Sekitar 1.404 (65%) salah satunya sebagai KDRT.

Baca Juga : Apa Yang Dimaksud KDRT Serta Dampak Psikisnya

Jumlah itu sebagai peristiwa gunung es yang cuma kelihatan pucuknya saja. Ada banyak kasus yang tidak terlaporkan dan mencuat di permukaan.

Meskipun Indonesia telah mempunyai perlindungan hukum untuk melawan KDRT, seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 mengenai Penghilangan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan lokal masih sering muncul karena ada kendala sosiokultural. Ini terhitung kentalnya asumsi dalam warga Indonesia jika KDRT sebagai ‘aib' untuk wanita.

Walau sebenarnya, karena ada perkembangan tehnologi, satu diantaranya sosial media, kita sebetulnya punyai kesempatan semakin besar untuk mengumandangkan hak-hak korban KDRT dan menolong mereka memperoleh akses keadilan.

KDRT ialah kriminil, bukan masalah private

Budaya patriarki - yang tempatkan wanita pada status kelas dua - di Indonesia sudah membuat harapan sosial mengenai standard seorang wanita yang "baik". Sejauh ini, dengan cara sosial dan kultural, wanita dikonstruksi sebagai makhluk yang perlu memiliki sifat halus, emosional, dan keibuan.

Langgengnya konstruksi berikut yang jadi memperburuk keadaan ketidakadilan gender di Indonesia

Baca Juga : Diterpa Masalah KDRT, Pasangan Ini Mendapatkan Penghargaan Best Couple

Dalam kasus KDRT, misalkan, warga memandang jika wanita, atau istri, bertanggungjawab untuk jaga keserasian rumah tangga. Bila wanita menuntut perpisahan sebagai usaha untuk terlepas dari tindak KDRT, mereka sering dituding dan dipandang tidak berhasil memikul pekerjaannya untuk membuat rumah tangga yang serasi.

Stigma sosial jika kekerasan lokal ialah noda untuk keluarga selalu membuat warga memandang KDRT sebagai masalah private yang tidak semestinya diintervensi, condong ditutup-tutupi, dan sedapat mungkin janganlah sampai dijumpai oleh khalayak.

Ini membuat pengatasan kasus KDRT jadi terhalang, baik karena korban malas untuk melapor atau karena warga malas mengintervensi.

Konstruksi sosiokultural ini mengakibatkan lahirnya dikotomi (pembelahan) di antara ruangan private dan khalayak dalam memberi respon KDRT. Banyak pemikir feminis sudah mengomentari ini. Mereka memiliki pendapat jika dikotomi itu sering jadi alasan untuk menjaga penganiayaan pada wanita.

Penelitian memperlihatkan jika dikotomi ruangan itu berpengaruh negatif pada pemenuhan dan pelindungan hak azas manusia (HAM), terutamanya untuk wanita korban KDRT. Imbas ini semakin besar pada untuk wanita miskin yang mempunyai kebatasan uang, waktu, dan rasa optimis. Kesempatan mereka untuk terhubung service khalayak, terhitung service laporan dan pelindungan dari kekerasan, benar-benar terbatas.

UU PKDRT sebetulnya sudah tegas mengatakan jika KDRT ialah pelanggaran HAM. UU ini jadi wujud agunan dari negara untuk menahan, menangani aktor, dan membuat perlindungan korban KDRT.

Sayang, semenjak UU ini lewat ratifikasi 16 tahun kemarin, pengatasan permasalahan KDRT di Indonesia belum lebih baik. Maknanya, piranti UU saja belumlah cukup efisien jika tidak disertai dengan usaha penanaman nilai mengenai keutamaan kesetaraan gender untuk memberi respon kendala sosiokultural itu.

Instruksi UU PKDRT ke pemerintahan Indonesia untuk memberi pembelajaran dan publikasi berkenaan KDRT ke warga belum berpengaruh berarti. Ini karena mayoritas warga Indonesia masih menerjemahkan KDRT cuma untuk kontak fisik. Walau sebenarnya, UU PKDRT sudah menguraikan jika KDRT mencakup kontak fisik, mental, seksual, dan penelantaran rumah tangga yang berakar pada berbedaan berbasiskan gender.

Hal ini menjadi satu diantara factor yang mengakibatkan rendahnya laporan kasus KDRT non-fisik

Berdasar keterangan di atas, penting untuk khalayak di Indonesia untuk menolong mendekonstruksi (membedah) stigma sosikultural itu dan mengumandangkan jika KDRT tidak lagi persoalan private, tetapi pelanggaran HAM yang penting diintervensi oleh khalayak dan negara.

Dengan lakukan hal tersebut, wanita, lelaki, dan barisan non-biner sebagai korban KDRT tidak perlu sangsi atau malas untuk cari pelindungan. Kewenangan berwajib juga makin gampang untuk lakukan interferensi.
 

Keterlibatan khalayak lewat tehnologi


Perubahan tehnologi digital sekarang makin mengaburkan batasan di antara ruangan private dan khalayak. Kehadiran media baru sediakan akses untuk khalayak untuk menyaksikan apa yang terjadi di ranah private.

Baca Juga : Dua Saksi Menjadi Bukti KDRT Rizky Billar

Dalam kerangka KDRT, kaburnya batasan di antara ruangan private dan khalayak ini malah jadi kesempatan untuk membuat ruangan penangkalan dan pengatasan KDRT lewat interferensi negara. Dalam kasus sangkaan KDRT oleh RB ke LK, misalkan, khalayak bisa cepat ketahuinya karena menyebar lewat sosial media. Ada penekanan dari warga yang ramai mencela aktor kasus ini juga menggerakkan interferensi yang bisa lebih cepat dari faksi kepolisian.

Khalayak ikut berperan serta memberi ancaman sosial ke aktor. Satu diantaranya, misalkan, berpengaruh pada penghentian hubungan kerja di antara tersangka aktor dengan salah satunya stasiun tv.

Contoh lain ialah yang dirasakan dengan seorang inisiator video (vlogger) dari Tibet yang memilih untuk berpisah dari suaminya sesudah alami KDRT. Selang beberapa waktu, saat dia lakukan tayangan live (livestreaming) pada September 2020, si bekas suami mendadak tiba dan membakarnya hidup-hidup.

Khalayak yang melihat kejadian itu lewat saluran sosial media lantas mencela dan menggerakkan negara untuk melakukan tindakan tegas. Pada akhirnya, pemerintahan menjatuhkan aktor dengan hukuman mati. Sementara, antara warga Tibet berkembang diskursus berkenaan ketidakberhasilan negara dalam membuat perlindungan korban KDRT.

Kita perlu pahami jika penekanan khalayak seperti ini, yang kerap disebutkan viral-based kebijakan, bukan wujud keterlibatan masyarakat yang bagus. Tetapi, di lain sisi, pendayagunaan sosial media jadi kesempatan yang besar untuk pengatasan KDRT karena aksesbilitasnya yang luas dan sanggup mengumandangkan kebutuhan korban.


Arif dalam memakai media baru


Walau media baru mempunyai potensi sediakan ruangan untuk penuhi hak-hak korban KDRT, tidak bisa kita sangkal jika tehnologi ini belum seutuhnya menjadi ruangan yang aman.

Praktek kekerasan berbasiskan gender banyak juga terjadi di sosial media bersamaan mengembangnya tehnologi digital. Pada 2020, laporan Komnas Wanita menulis 281 kasus kejahatan cyber (cybercrime) berbasiskan gender.

Iklan


Mengumandangkan pengalaman KDRT lewat saluran sosial media memungkinkan tempatkan korban pada status rawan pada kekerasan verbal di ranah digital. Ini karena, balik lagi, masih kuatnya kepercayaan jika KDRT ialah kekeliruan wanita.

Pada akhirannya, kita perlu memakai media baru lebih jeli dan arif. Sedapat mungkin, kita perlu mengusahakan pemakaiannya untuk penuhi hak-hak korban KDRT, bukan malah berperan memunculkan kekerasan verbal pada korban dan mempersalahkan mereka.

Kuncinya, asumsi jika KDRT sebagai permasalahan private perlu kita robohkan lebih dulu supaya tidak jadi batu sandungan untuk korban dan kewenangan berkuasa untuk membuat ruangan aman dari semua wujud kekerasan.


Post a Comment

أحدث أقدم