Saat dunia menghadapi akhir globalisasi, apakah dunia bersiap untuk 'gelombang kelima'?


@mgmpsosiologi.org

Sepanjang 25 tahun akhir, banyak analisis serta kajian bergeser terkait rencana, riwayat, serta perubahan globalisasi - terhitung bermacam dimensi serta keuntungannya.

World Economic Komunitas memiliki argumen kalau dunia sudah mengenyam empat gelombang globalisasi. Organisasi itu mengeluarkan sebuah artikel yang meringkas perubahan globalisasi.

Menurut artikel itu, revolusi industri munculkan gelombang pertama globalisasi di akhir zaman ke-19, didorong oleh perubahan transportasi serta komunikasi. Gelombang pertama ini selesai sejalan dengan pecahnya Perang Dunia I pad 1914.

Gelombang ke-2  bangun sesudah Perang Dunia II di akhir 1945, serta selesai pada 1989. Gelombang ke-3  mulai sewaktu tembok Berlin tumbang pada 1989 serta Uni Soviet buyar pada 1991, sebelumnya akhirnya macet gara-gara kritis keuangan global pada 2010. Sejalan dengan rekondisi pascakrisis, bertumbuhnya ekonomi digital serta intelejensi produksi (artificial intellligence), dan naiknya Cina menjadi kebolehan global - gelombang ke-4 ada.

Terakhir, ada perbincangan terkait apa gelombang ke-4 sedang mengalami kemerosotan serta apa dunia sudah siap buat saksikan gelombang ke-5 lepas landas.

Padanan dalam fase kemerosotan gelombang pertama dengan dinamika global yang sedang terjadi saat ini cukup mengagetkan. Apa padanan yang terpisah jarak satu zaman ini bermakna kemerosotan gelombang ke-4 hendak terjadi? Adakah cukup bukti kalau proses deglobalisasi tengah berjalan atau barangkali ini sekadar hanya "slowbalisation" (pelambatan globalisasi)?
 

Paralel

@kompasiana.com

Mundurnya globalisasi sepanjang 30 tahun dari 1914 sampai 1945 adalah imbas geopolitik serta ekonomi dari Perang Dunia I serta Perang Dunia II. Elemen yang lain melingkupi Endemi Flu Spanyol pada 1918-1920; kemusnahan pasar saham pada 1929 yang dituruti oleh kritis ekonomi Great Depression pada 1930; serta bangunnya block komunis di bawah pemerintahan Stalin pada dasawarsa 1940an.

Fase ini lebih jauh disinyalir dengan sentimen perlindunganonisme, peningkatan harga serta kendala perdagangan yang lain, dan pengurangan perdagangan internasional pada umumnya.

Ada paralel yang tidak bisa diingkari kalau lihat skema ekonomi global waktu ini. Dunia masih bertarung hadapi endemi COVID-19 yang bawa imbas yang memberikan kerugian buat ekonomi global, rantai supply, serta kesejahteraan orang.

Baca Juga : Sri Lanka yang dilanda krisis

Perang Rusia-Ukraina pun punya peran kepada ketidaktetapan global serta kelangkaan pangan. Perselisihan ini sebabkan melesatnya harga gas serta bahan bakar minyak, problem lebih jauh kepada rantai nilai global, serta polarisasi politik.

Naiknya harga bermacam barang konsumsi serta energi berikan penekanan kepada tingkat harga pada umumnya. Inflasi dunia naik agresif buat pertamanya kali sepanjang 40 tahun. Kewenangan moneter di pelosok dunia saat ini sedang bergulat menantang inflasi.

Instansi tata urus global seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serta Asosiasi Bangsa-Bangsa (PBB), yang memiliki fungsi secara bagus pasca-Perang Dunia II, sekarang alami pengurangan akibat.

Sementara, Perang Rusia-Ukraina membagikan perpolitikan dunia jadi tiga kumpulan. Mereka yaitu kumpulan partisan agresi, beberapa negara netral, dan beberapa negara oposisi yang dimonopoli oleh Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, serta Inggris. Pemecahan ini menyebabkan kendala geopolitik yang susah, yang perlahan-lahan ke arah pada pengubahan partner dagang serta regionalisme.

Eropa sekarang mulai cari penyuplai minyak serta gas anyar menjadi opsi dari Rusia. Di lain bidang, tanda-tanda awalan pemerluasan akibat Cina di Asia bertambah terang.

Dunia yang tambah gak terjalin

@mahasiswaindonesia.id

Deglobalisasi diuraikan menjadi

"sebuah pergerakan tuju dunia yang tambah gak terjalin, dengan keunikan kehadiran bermacam bangsa dan negara yang kuat, jalan keluar lokal, serta kontrol pinggiran bukannya instansi global, kesepakatan, serta gerakan bebas"

Waktu ini, ada juga pembicaraan bab slowbalisation. Terminologi ini kali pertama dikenalkan oleh pemerhati trend serta futurolog Adjiedji Bakas pada 2015 buat memvisualisasikan kejadian

integratif ekonomi global berkepanjangan lewat perdagangan arus, keuangan, serta yang lain, meskipun pada pergerakan yang paling melamban.

Data globalisasi ekonomi berikan deskripsi yang memikat. Data itu membuktikan kalau, bahkan juga saat sebelum endemi COVID-19 menebar pada 2020, pelambatan intensif globalisasi terang tampak. Data yang menghadirkan ukuran globalisasi melingkupi:

Export barang serta jasa pada tingkat global. Perbandingan export pada keseluruhan pemasukan lokal bruto (PDB) capai angka paling tingginya di tingkat 31% pada 2008, benar mendekati gelombang ke-3  selesai. Bagian export pada PDB global jeblok serta baru memulai sembuh pada 2011, atau sewaktu dunia masuk bagian awalan globalisasi gelombang ke-4. Tapi, angka export selalu mengenyam kemerosotan, capai 28% dari PDB global pada 2018 serta 26% sewaktu endemi menyerbu pada 2020.

Iklan


Volume arus masuk investasi asing langsung (FDI). Arus masuk FDI capai pucuknya pada range US$2 triliun (Rp 29.795 triliun) pada 2016, saat sebelum alami pengurangan serta sentuh US$1,48 triliun pada 2019. Meskipun arus masuk FDI pada 2020 cuma sekitar di angka US$963 miliar atau 20% di bawah tingkat kritis keuangan 2009, angka ini mengenyam rekondisi jadi US$1,58 miliar pada 2021.

Persentasi FDI kepada PDB mengenyam peningkatan dari cuma kurang lebih 1% pada 1989 sampai capai pucuk 5,3% in 2007. Sesudah alami pengurangan gara-gara kritis keuangan global, saat sebelum naik pada 2015 serta 2016 ke range 3,5%. Angka ini kembali ambles ke tingkat 1,7% pada 2019 serta 1,4% pada 2020.

Baca Juga : Hadiah Nobel Ekonomi 2022

Sejalan perubahan kurun, perusahaan multinasional jadi motor pendorong globalisasi ekonomi. Jumlah mereka memberikan indikasi ambisi perusahaan buat menanam investasi di luar batasan negaranya. UN Konferensi on Trade and Development (UNCTAD) memberitahukan kalau ada 82.000 perusahaan multinasional yang bekerja pada 2008. Angka ini berkurang jadi 60.000 pada 2017.

Data arus modal swasta dunia (terhitung investasi asing langsung, arus ekuitas portofolio, pengangkutan uang, serta hutang divisi swasta) tak siap. Tapi, Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) membuktikan kalau arus modal swasta buat beberapa negara pelapor capai titik paling tinggi selamanya waktu sebesar US$414 miliar pada 2014, dituruti dengan trend pengurangan jadi US$229 miliar pada 2019, serta arus keluar negatif sebesar US$8 miliar pada 2020.

Trend pengurangan ini bertambah termaterialisasi dengan fragmentasi interaksi ekonomi yang tambah dalam gara-gara kejadian Brexit serta rekan permasalahantis di antara AS serta Cina, terlebih pada masa kepimpinan Presiden AS Donald Trump.
Bagaimana seterusnya?

Pertanyaannya saat ini yaitu apa data yang ada:

memberikan indikasi kemerosotan dari globalisasi, sama seperti yang terjadi pada gelombang pertama satu zaman lalu;

atau itu cuma proses deglobalisasi;

atau slowbalisation buat memperhitungkan pembaharuan ekonomi dunia sesudah terpengaruh endemi COVID-19 serta Perang Ukraina?

Kecocokan di antara gelombang pertama globalisasi dengan insiden global yang berjalan waktu ini besar sekali, walaupun terjadi dalam aturan dunia yang paling berlainan.

Dinamika yang waktu ini membuat dunia - seperti perubahan technologi, masa digital, serta kecepatan penebaran technologi serta info - pasti akan mengubah intensif kemerosotan pada keterikatan yang ada di globalisasi.

Bangsa dan negara sudah sadari kalau menyetujui kontrak serta kesepakatan dengan sejumlah perusahaan dari negara lain secara asal-asalan dapat sebabkan problem. Oleh karenanya, partner dagang serta investasi harus diputuskan dengan teliti.

Kejadian-peristiwa yang terjadi sepanjang 3 tahun ke belakang membuktikan kalau ekonomi dunia benar-benar terpadu. Biarpun banyak contoh pendekatan perlindunganonisme serta aturan yang konsentrasi pada ranah lokal, dunia tak bisa sepenuhnya mundur dari globalisasi.

Kejadian yang sangat barangkali terjadi yaitu fragmentasi, yakni rantai sediakan bertambah lebih konsentrasi di tingkat wilayah.

Baca Juga : perdagangan Bitcoin adalah palsu

Peraup Nobel dibagian ekonomi, Joseph Stiglitz menunjuk cara ini menjadi "friend shoring" (arahkan rantai sediakan ke partner sobat), sebuah frasa yang dicetuskan oleh Menteri Keuangan AS Janet Yellen.

Saat ini, cukup terang kalau proses globalisasi membuktikan baik karakter deglobalisasi atau slowbalisation. Terkecuali itu, cukup terang kalau guncangan external global yang terjadi membuktikan pentingnya penilaian ulangi, penataan ulangi arah, serta reformasi proses globalisasi keseluruhan.

Beberapa hal ini peluang bakal arahkan dunia pada gelombang globalisasi ke-5.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama